Sabtu, 17 Juni 2017

ISTIHSAN MENURUT IMAM MALIKI



ISTIHSAN MENURUT IMAM MALIKI
ARTIKEL
Disusun guna memenuhi tugas akhir
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen pengampu : Misbah Khoiruddin Zuhri

Disusun oleh :
Srie Wulandani 1604026040


JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2017

ISTIHSAN MENURUT IMAM MALIKI
Dalam islam memiliki dua sumber hukum yang diketahui yaitu al-qur’an dan as-sunnah, tetapi selain itu juga para ulama’ menemukan metode ijtihad yang dapat menetapkan hukum-hukum syara’ sesuai dengan kemaslahatannya seperti ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dan lain sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis berkesempatan menjelaskankan sedikit tentang salah satu hukum-hukum syara’ yang sesuai dengan kemaslahatannya yaitu istihsan.
Pengertian istihsan menurut bahasa berasal dari kata (إِسْتَحْسَنَ – يَسْتَحْسِنُ – إِسْتِحْسَاًنا) yang berarti (طَلَبُ الْحَسَنِ) mencari kebaikan, berarti menganggap baik atau mencari yang baik, menjadikan baik sesuatu, sedangkan menurut istilah yang dijelaskan oleh imam Abu al Hasan al Karkhi istihsan ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu. Salah satu ulama’ fiqih yang menggunakan metode ijtihad istihsan adalah Imam Hanafi dan Imam Maliki. Dalam pembahasan ini, akan sedikit menjelaskan tentang Istihsan menurut Imam Maliki.
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H / 712 M, dan wafat pada hari Ahad, 10 Rabi’ul Awal 179 H / 798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harun al-Rasyid. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu ‘Amir ibn Amr ibn Harits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu Ashbah, di kota Himyar, jajahan Negeri Yaman. Ibunya bernama Siti Al-‘Aliyah binti Syuraik ibn Abd. Rahman ibn Syuraik al-Azdiyah. Kakek Malik, Abu ‘Amir, datang ke Madinah dan bermukim di sana sesudah Nabi wafat. Karenanya, kakek Malik ini tidak termasuk golongan sahabat, tetapi termasuk golongan Tabi’in. Malik dilahirkan dalam keluarga Ilmuwan yang tekun mempelajari hadis dan atsar. Abu Amar, kakek Malik menerima hadits dari Umar, Usman dan Thalhah. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh cucunya Malik, Nafi’ dan Abu Sahel. Dari kisah sejarahnya, Abu Sahel inilah yang paling banyak memperhatikan urusan riwayat. Dia salah seorang guru Az-Zuhri. Sejarah Anas, ayahnya Imam Malik tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah, apa yang diketahui beliau tinggal di suatu tempat yang bernama Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir di sebelah utara Madinah. Ayah Imam Malik bukanlah seorang yang biasa menuntut ilmu. Walaupun demikian beliau pernah mempelajari sedikit banyak hadis-hadis Rasulullah saw, beliau bekerja sebagai pembuat panah untuk sumber nafkah keluarganya.
Anas tidak begitu memperhatikan hadis. Walaupun ayah Malik tidak terkenal sebagai ahli ilmu, namun kakeknya dan paman-pamannya semuanya terkenal ahli ilmu. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabilah Malik yang tumbuh dalam keluarga hadis, punya kecenderungan mempelajari hadis. Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau ialah seorang yang mempunyai sopan santun dan lemah lembut, mengasihi orang miskin dan menolong orang yang membutuhkan. Beliau juga seorang yang sangat pendiam, kalau berbicara seperlunya saja dan berguna serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat. Di samping itu, beliau juga seorang yang mudah bergaul dengan orang-orang yang mengerti agama terutama para gurunya, bahkan bergaul dengan para pejabat pemerintah atau wakil-wakil pemerintahan serta kepala negara. Beliau tidak pernah melanggar batasan agama.
Imam Malik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama’ terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadis dan fiqih. Setelah memperoleh kepahaman ilmunya, beliau mulai mengajar dan menulis kitab Muwaththa’ yang sangat populer, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Banyak dari muhadditsin besar yang mempelajari hadis dari beliau dan menjadi rujukan para ahli fiqih. Allah telah menganugrahkan kepada Malik sifat-sifat yang memungkinkannya mencapai puncak ketinggian ilmu menjadi seorang muhadits dan seorang ahl al-fiqih yang berpegang teguh pada al-Qur’an, as-Sunnah dan atsar para ulama’ salaf. Sifat pertama yang dimiliki Malik, ialah : daya hafal yang sangat kuat. Apabilah ia mendengar sesuatu, langsung dapat dihafalkannya. Pernah beliau mendengar 40 hadis sekaligus, pada esok harinya ia menyetorkan hafalannya kepada gurunya tidak ada yang salah sekalipun. Inilah yang menyebabkan Malik menjadi seorang ulama’ gudang ilmu. Kekuatan hafalan itu menjadi menjadi pegangan dalam memelihara ilmu. Setiap apa yang telah dapat dihafalnya ditulis dalam buku catatannya.
Sifat kedua adalah kesabaran, ketabahan dalam proses mencari ilmu dan mengatasi segala kesulitan yang menghalanginya. Beliau pergi di tengah-tengah terik matahari untuk belajar. Ulama’ ini berpendapat bahwa kesabaran dan keinginan/ kerja keras itulah alat untuk mencari ilmu. Orang yang tidak mempunyai sifat-sifat tersebut tidak sampai kepada tujuan. Sifat ketiga, ialah keikhlasan dalam mencari ilmu. Dia mencari ilmu bukan karena ingin mencari kemegahan. Dia ikhlas dalam mencari hakikat sesuatu. Inilah sifat yang menyebabkan dia dapat menemukan hakikat dan memahami hadis dan kitab Allah SWT. Malik mengakui bahwa ilmu ialah ibadah mahdzhah, jika jiwa orang itu diselubungi takwa dan ikhlas. Ia memberi fatwa terhadap kejadian yang telah terjadi saja dan tidak tergesa-gesa memberikan fatwa. Malik juga berdiskusi tentang ilmu dengan para ulama lain seperti Abu Yusuf dan Abu Ja’far. Sifat yang ke empat, ialah kekuatan firasat dan tembus pandangannya kepada hal-hal yang tersembunyi dan apa yang sedang bergelora dalam dada manusia. Dia disegani oleh murid-muridnya. Bila Malik masuk ke majelisnya, para muridnya menundukkan kepala, seakan-akan ada burung yang berdiri di atas kepala mereka. Bahkan para khalifah segan kepadanya. Hal ini diperoleh karena kekuatan jiwanya. Jiwa yang kuat itu memberi pengaruh pada diri orang lain. Di samping itu Malik mempunyai badan yang tegap, perawakan yang tinggi dan tampan.
Pendidikan dan Guru-guru Imam Malik. Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan khalifah Sulaiman ibn Abd Malik dari Bani Umaiyah. Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para ahli hukum Islam yang cerdik dan pandai. Dalam suasana seperti itulah Imam Malik tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang terkenal. Pengetahuan pertama yang diterimanya adalah al-Qur’an, yakni bagaimana cara membaca, memahami makna dan tafsirnya serta menghafal al-qur’an. Kemudian ia mempelajari hadis Nabi saw dengan tekun dan rajin, sehingga mendapat julukan sebagai ahli hadis.
Suatu saat dia ingin mengunjungi majlis pengajian para ulama’ dan senang hati ibunya memberikan ijin kepadanya untuk menemui ulama Rabi’ah (wafat tahun 136H) yang hendak belajar. Sebagai seorang ahli hadis, beliau sangat menghormati dan menjunjung tinggi hadis Nabi saw. Sehingga  bila hendak memberi pelajaran hadis, beliau berwudhu’ terlebih dahulu, kemudian duduk di atas sajadah dengan tawadhu’. Beliau tidak senang apabila memberikan pelajaran hadis sambil berdiri di tengah jalan atau dengan tergesa-gesa. Madinah adalah kota yang mempunyai keutamaan di masa sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Di Madinah itu banyak ulama’ yang mengembangkan ilmunya di masa hidupnya Malik, apalagi sebelumnya. Di masa khalifah Rasyidin, kota Madinah adalah kota ulama’. Barulah sesudah wafat Umar para sahabat pindah ke kota-kota lain. Dan karena itu kebanyakan tabi’in berada di Madinah dan Makkah. Hanya sedikit yang tinggal di kota lain, di Irak dan Syam, dan paling sedikit di Mesir. Setelah terjadi kekacauan-kekacauan terhadap pemerintah Umayyah, para ulama kembali ke Hijaz, bahkan Abu Hanifah sendiri pergi ke Makkah melepaskan diri dari tekanan penguasa Umayyah. Malik dilahirkan dan dibesarkan di kota Madinah yang penuh dengan ulama’. Setelah ia mulai dewasa ia pun memilih guru untuk mempelajari ilmu khususnya hadis. Memilih guru adalah sesuatu hal yang sangat diutamakannya. Dia berkata, “Sesungguhnya ilmu adalah agama, maka lihatlah orang yang kamu ambil ilmu dari padanya”.
Adapun guru yang bergaul erat dengannya adalah Imam Abd. Rahman ibn Hurmuz salah seorang ulama besar kota Madinah. Kemudian beliau belajar fiqih kepada salah seorang ulama’ besar kota Madinah, yang bernama Rabi’ah al-Ra’yi. Selanjutnya Imam Malik belajar Ilmu hadis kepada Imam Nafi’ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), dan juga belajar kepada Imam ibn Syihab al-Zuhry. Menurut riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa diantara para guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Di antara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang tergolong ulama’ tabi’in. Imam Malik pernah belajar pada Ja’far, walaupun dia tidak setuju dengan jalan yang di tempuh Ja’far itu. Malik mempelajari ilmu-ilmu yang berkembang di masanya. Tetapi yang dikembangkan kepada orang lain hanyalah ilmu Rasulullah saw, ilmu sahabat dan tabi’in. Dia mengetahui ilmu yang dianut aliran yang tumbuh di masa itu. Lantaran itulah dia memusatkan perhatiannya untuk mengetahui hadis Rasulullah, fatwa-fatwa sahabat, baik yang mereka sepakati maupun yang diperselisihkan. Malik pernah berkata, “Tidak boleh memberi fatwa, orang yang tidak mengetahui apa yang diperselisihkan dan tidak mengetahui nasikh-mansukhnya, baik dalam bidang al-qur’an maupun dalam bidang hadis. Dia mengkhususkan studi-studinya tentang fatwa-fatwa Umar, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Umar dan pemuka-pemuka ilmu agama sesudah Umar. Ilmu Zaid ibn Tsabit dikembangkan oleh 21 orang. Kemudia ilmu mereka ini dikumpulkan oleh 3 orang yaitu Ibn Syihab, Bakir ibn Abdullah dan Abuz Zinad. Ilmu mereka diwarisi oleh Malik. Ibn Syihab az-Zuhri berkata,“Kami telah kumpulkan, ilmu Sa’ad, Abu Salamah, ‘Al-Urwah, Al-Kasim, Salim, Khariyah, Sulaiman dan Nafi’”. Malik berkata,”ilmu mereka itu dinukilkan oleh Ibn Hurmuz dan Az-Zuhri. Tokoh-tokoh inilah yang menjadi guru bagi Malik.
Guru-guru Malik ada dua yaitu guru yang mengajarkan fiqih dan ijtihad dan guru-guru yang mengajarkan hadis. Ibn Hurmuz adalah guru yang mengajarkan kepadanya ilmu-ilmu kecerdasan umum dan mengajarkan hadis. Di Madinah pada masa itu telah timbul fiqhur Ra’yi yang ditumbuhkan oleh Yahya Ibn Sa’id, Ubaidullah ibn Umar, Kafir ibn Farqad. Tujuh tahun lamanya Malik belajar kepada Abdurrahman Ibn Hurmuz. Selama itu ia tidak berguru pada orang lain. Dari Ibn Hurmuz ia mempelajari perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’ di bidang fiqih, fatwa dan dalil yang dipakai untuk mematahkan hujjah lawan. Malik banyak dipengaruhi oleh pelajaran-pelajaran yang diberikan Ibn Hurmuz. Di samping itu Malik belajar pula kepada Nafi’ yang mewarisi fatwa Ibn Umar. Dari padanyalah Malik mempelajari fiqih Ibn Umar dan hadis-hadis yang diriwayatkannya. Ia belajar juga pada Ibn Syihab Az-Zuhri. Malik mempelajari ilmu hadis pula pada Ibn Sayyab, yang mengetahui fiqih fuqaha tujuh madzhab. Di dalam al-Muwaththa’, banyak hadis yang diriwayatkan dari Ibn Sayyab. Gurunya yang terakhir, ialah  Abuz Zinad ini sebaya dengan Malik sendiri. Guru-guru Malik yang terkenal sebagai Ahli fiqh diriwayat ialah Yahya Ibn Sa’id yang belajar kepada fuqaha tujuh dan Rabi’ah. Inilah tokoh yang paling menonjol dalam fiqih Madani.
Karya-karya dan Murid-murid Imam Malik. Permulaan kitab yang terkenal dan berkembang dalam masyarakat sekarang ialah Al-Muwaththa’. Maka dari itu Maliklah permulaan ulama yang membukukan ilmunya. Diterangkan oleh As-Sayuti bahwa dalam kitab Tazyinul Mamalik bahwa Malik mempunyai beberapa kitab lagi. Di antaranya sebuah risalah yang ditulis untuk Ibn Wahab buat membantah paham Kudriyah, sebuah risalah untuk Hijaz, sebuah risalah tentang hisab dan perputaran matahari dan bulan dan sebuah risalah tentang pengadilan serta sebuah risalah tentang fatwa. Hanya saja kitab-kitab ini tidak diriwayatkan oleh orang banyak. Yang berkembang dalam masyarakat dan diterima dari banyak perawi hanyalah Al-Muwaththa’. Kitab Al-Muwaththa’ ini di tulis tahun 144 H atas anjuran khalifah Ja’far Al-Manshur. Pendapat Imam Malik ibn Annas dapat sampai melalui dua kitab, yaitu Al-Muwaththa’ dan Al-Mudawwanah Al-Kubra. Kitab Al-Muwaththa’ mengandung dua aspek, yaitu aspek hadis dan fiqih. Adanya aspek hadis itu adalah karena kitab Al-Muwaththa’ banyak mengandung hadis-hadis dari Rasulullah saw atau dari sahabat dan tabi’in. Hadis-hadis ini diperoleh dari sejumlah orang yang diperkirakan sejumlah 95 orang yang kesemuanya itu dari penduduk Madinah, kecuali enam orang saja, yaitu: Abu Al-Zubair (Makkah), Humaid Al-Takwil dan Ayyub Al-Sahtiyani (Bashra), Atha’ Ibn Abdillah (Khurasan) Abd Karim (Jazirah) Ibrahim ibn Abi `Ablah (Syam). Demikian menurut Al-Qadhy. Dan di dalam kitab Al-Muwaththa’ juga diterangkan pokok-pokok pikiran Imam Malik dalam ilmu fiqih.
Hukum-hukum fiqih Malik dapat kita peroleh melalui dua jalan :
a.         Melalui kitab-kitab yang disusunnya sendiri, yaitu Al-Muwaththa’. Kitab ini walaupun terkenal sebagai kitab hadis, namun di dalamnya terdapat masalah-masalah fiqih dan ditertibkan menurut kitab fiqih pula,
b.        Nukilan para sahabatnya. Fatwa-fatwa beliau dikumpulkan oleh murid-murid beliau menjadi buku-buku yang merupakan buku pokok dalam Madzhab Maliki. Oleh karena itu, jika hendak mempelajari pokok-pokok pikiran Madzhab Maliki, maka sumbernya ialah kitab Al-Muwaththa’ dan pendapat-pendapat atau fatwa-fatwa beliau yang dikumpulkan oleh murid-muridnya. Kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra merupakan kumpulan risalah yang memuat kurang lebih 1.036 masalah dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan Asad Ibn Al-Furat Al- Naisabury yang berasal dari Tunis yang pernah menjadi murid Imam Malik dan pernah mendengar Al-Muwaththa’ Imam Malik. Kemudian ia pergi ke Irak. Ketika di Irak Asad Ibn al-Furat bertemu dengan Yusuf dan Muhammad yang merupakan murid Abu Hanifah. Ia banyak mendengar masalah fiqih aliran Irak. Kemudian dia pergi ke Mesir dan bertemu dengan Ibn Al-Qasim, murid Imam Malik. Dengan permasalahan fiqih yang diperolehnya dari Irak, dia menanyakan kepada Ibn Al-Qasim dan akhirnya jawaban-jawaban itulah yang kemudian menjadi kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra.
Diantara pengikut Imam Mâlik yang terkenal adalah :
1.      Asad ibn Al-Furat
2.      'Abd Al-Salam Al-Tanukhi (Sahnun)
3.      Ibnu Rusyd
4.      Al-Qurafi
5.      Al-Syathibi.
Para pengikut beliau juga menulis kitab yang dapat dijadikan rujukan pada generasi berikutnya disamping melestarikan pendapat Imam Malik tersebut. Di antara kitab utama yang menjadi rujukan aliran Malikiyah adalah sebagai berikut:
a)      Al-Muwaththa’ karya Imam Mâlik. Kitab ini sudah disyarahi oleh Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi dengan judul Aujaz al-Masãlik ila Muwaththa' Mâlik dan Syarh al-Zarqãni `ala Muwaththa' Al-Imam Mâlik karya Muhammad ibn `Abd al-Baqi al-Zarqani dan Tanwir al-Hawãlik Syarh `ala Muwaththa' Mâlik karya Jalal al-Din `Abd al-Rahman al-Suyuthi al-Syafi'i.
b)      Al-Mudãwwanah Al-Kubra karya `Abd Al-Salãm Al-Tanukhi. Kitab ini disusun atas dasar sistematika kitab Al-Muwaththa'.
c)      Bidãyah Al-Mujtahid wa Nihãyah Al-Muqtashid karya Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi.
d)     Fath Al-Rahim`ala Fiqh Al-Imam Mâlik bi Al-Adillah karya Muhammad ibn Ahmad.
e)      Al-I'tishãm karya Abi Ishāq ibn Musa Al-Syãthibi.
f)       Mukhtashar Khalil `ala Matan Al-Risalah li Ibn Abi Zaid Al- Qirawãni karya Syaikh `Abd Al-Majid Al-Syarnubi Al-Azhari.
g)      Ahkam Al-Ahkam `ala Tuhfat Al-Ahkam fi Al-Ahkam Al-Syar'iyyah karya Muhammad Yusuf Al-Kafi.
Di samping pokok-pokok pikiran beliau yang terdapat dalam kitab “Al-Muwaththa”, beliau juga banyak mengemukakan fatwa-fatwa, pendapat-pendapat yang beliau kemukakan dalam diskusi dengan sahabat-sahabat dan murid-murid beliau yang terkenal, dan yang mengumpulkan fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat beliau itu ialah :
1)      Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (wafat 197 H)
2)      Abd Al-Rahman bin Al-Qasim (wafat 191 h)
3)      Asyhab bin Abdul Aziz (wafat 204 h)
4)      As’ad bin Al-Furat (wafat 217 H)
5)      Abdullah bin Abdul Hakam (wafat 214 H)
6)      Sahnun bin Abd Al-Salam Al-Tanukhi (wafat 240 H)
7)      Abu Abdillah Ziyad bin Abd Al-Rahman Al-Qurthubi, yang terkenal dengan Imam Syabtun (wafat 193 H).
Adapun kitab-kitab ushul fiqih dan Qawa’id Al-fiqih aliran Malikiyah adalah sebagai berikut:
a.    Syarh Tanqih Al-Fushũl fi Ikhtisar Al-Mahsul fi Al-Ushũl, karya Syihab Al-Din Abu Al-Abbas Ahmad bin Idris Al-Qurafi (wafat 684 H)
b.    Al-Muwafaqat fi Ushũl Al-Ahkãm, karya Abi Ishaq ibn Musa Al-Syatibi.
c.    Ushũl Al-Futiya, karya Muhammad Ibn Al-Harits Al-Husaini (wafat 361 H)
d.   Al-Furũq karya Syihab Al-Din Abu Al-`Abbas Ahmad Ibn Idris Al-Qurafi (wafat 684 H).
e.     Al-Qawa’id karya Al-Maqqari (wafat 758 H).
f.       Idlah Al-Masalik Al-Qawã’id Al-Imam Malik karya Al-Winsyairi (wafat 914 H).
g.    Al-Is’af bi Al-Thalab Mukhtashar Syarh Al-Minhaj Al-Munthakhab karya Al-Tanawi.
Imam Malik memiliki murid yang banyak. Murid-murid istimewa dari Imam Malik yang mendapat layanan istimewa darinya ialah :
1)      Abdullah Ibn Wahab (125 H - 197 H)
2)      Abdur Rahman Ibn al-Qasim (128 H - 191 H)
3)      Asyab Ibn Abdul Aziz (140 H – 204 H)
4)      Asan Ibn Funud (145 H – 213 H)
5)      Ibnul Majisun.
Di antara yang digolongkan ke dalam barisan murid pilihan ialah: Abdullah Ibn Abdul Hakam (150 – 216 H), Abdul malik Ibn Habib (wafat 238 H), Muhammad Ibn Hammad al-‘Utbi al-Qurtubi (wafat 255 H) dan Sahnun (wafat 240 H). Nukilan-nukilan mereka terkumpul dalam kitab-kitab :
a)    Al-Mudawwanah;
b)   Al-Wadlihah;
c)    Al-Mustahrajah dan Al-Ubdiyah.

Pembagian Istihsan
Pembagian istihsan secara umum berdasarkan proses perpindahannya terbagi menjadi dua, yaitu :
1.   Mendahulukan qiyas khafi dari qiyas jali karena ada alasan yang dibenarkan syara’. Misalnya, jika penjual dan pembeli berselisih tentang harga sebelum serah terima barang dilakukan, berdasarkan istihsan mereka berdua dapat disumpah, padahal menurut qiyas penjual tidak disumpah tetapi menghadirkan bukti.
2.   Mengecualikan hukum juz’i dari hukum kully dengan dalil. Misalnya, menurut hukum kully jual barang yang ma’dum itu dilarang, karena mengandung gharar, tetapi berdasarkan istihsan diperbolehkan melalui akad salam.
Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu :
a.    Istihsan beradasarkan Nash, yaitu adanya ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kadiah umum yang berlaku. Contoh isithsan dengan al-Qur’an adalah wasiat, yang menurut qiyas tidak diperbolehkan karena pemindahan hak baru terjadi setelah si pewasiat kehilangan hak miliknya, yaitu pada saat meninggal. Hanya saja wasiat ini dikecualikann dari kaidah umum tersebut berdasarkan ayat :
من بعد وصية يو صى بها او دين
Sedangkan contoh istihsan dengan sunnah adalah dinyatakan sah puasanya orang yang makan dan minum dalam keadaan lupa, padahal dalam kaidah umum puasanya menjadi batal, sebab makan dan minum membatalkan puasa. Pengecualian hukum/kaidah umum ini didasarkan pada hadits Nabi yang berbunyi :
من اكل او شرب ناسيا فلا يفطر فانما هو رزق رزقه الله (رواه الترمدذي)         
b.      Istihsan bi al-Ijma’
Ialah meninggalkan qiyas dalam suatu masalah berdasarkan ijma’ yang menetapkan hukum berbeda dengan hukum yang ditunjuk oleh qiyas. Seperti sahnya akad istishna’ berdasarkan ijma’ ulama. Padahal menurut qiyas akad istishna’ itu tidak sah, karena obyek yang diadakan belum ada (ma’dum) pada saat akad dilangsungkan.
c.    Istihsan berdasarkan qiyas khafi. Misalnya menurut Hanafiyah jika penjual dan pembeli berselisih tentang harga barang sebelum serah terima barang dilakukan, menurut qiyas penjual harus mendatangkan bukti dan pembeli disumpah. Namun menurut istihsan keduanya dapat disumpah.
d.   Istihsan bi al-Maslahah
Yaitu istihsan berdasarkan maslahah. Misalnya ketentuan umum menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduksi pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena status mereka hanya buruh yang menerima upah. Akan tetapi demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggung jawab para buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produksi, maka ulama Hanafiyah menggunakan istihsan yang menyatakan buruh harus bertanggung jawab atas kerusakan setiap produksi yang dihasilkan baik disengaja atau tidak.
e.    Istihsan bi al-‘Adah au al-‘Urf
Yaitu istihsan berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum. Misalnya sewa pemandian dengan harga tertentu tanpa pembatasan air yang digunakan serta lamanya waktu yang dihabiskan. Menurut qiyas hal ini tidak diperbolehkan, sebab menurut qiyas obyek akad ijarah itu harus jelas sehingga tidak menimbulkan perselisihan. Namun menurut istihsan hal itu dibolehkan lantaran kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat tidak menuntut jumlah air yang digunakan dan waktu yang digunakan.
f.        Istihsan bi al-Darurah
Artinya ada keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis menurut kaidah umum sumur itu tidak mungkin disucikan dengan air tersebut dari sumur karena sisa air yang bersumber dari dalam sumur itu akan tetap najis. Hanya saja berdasarkan istihsan sumur tersebut dihukumi suci dengan mengeluarkan air yang ada dalam sumur tersebut dalam jumlah tertentu dengan alasan darurat.
Ulama’ Malikiyah menggunakan istihsan dengan meninggalkan dalil atas dasar pengecualian dan memberikan rukhsah karena ada sesuatu yang menentangnya. Kemudian, Ulama’ Malikiyah membagi istihsan menjadi empat bagian yaitu: istihsan dengan ‘urf (menilai baik sesuatu dengan memandang dari ‘urf nya atau adat kebiasaannya untuk menetapkan suatu hukum syara’ dalam islam), istihsan lantaran maslahat (mengambil manfaat atau kebaikan dari sesuatu yang ditetapkan oleh syara’ dengan dalil-dalil tertentu), istihsan dengan ijma’ (menilai baik sesuatu atas dasar dari hasil kesepakatan bersama oleh para ulama’ dalam menetapkan hukum-hukum syara’), dan istihsan dengan kaidah untuk memudahkan dan menghilangkan kepicikan. Menurut Ibnul Anbari menegaskan bahwa istihsan yang dikehendaki oleh mazhab Malik ialah mempergunakan masalah juz’iyyat sebagai imbangan qiyas yang kulliyat.
Misalnya saja: apabila seseorang membeli barang dengan khiyar, kemudian ia meninggal dunia, kemudian ahli waris-warisnya saling berselisih pendapat mengenai apakah meneruskan pembelian tersebut atau tidak. Maka, menurut istihsan dalam kasus ini adalah menilai baik apabila ahli waris-warisnya meneruskan pembelian tersebut karena mau menerima bagian pihak yang membatalkan, sebab penjualnya tidak mau menerimanya kembali barang-barang yang sudah dibeli, agar diteruskan kembali pembelian itu. Perbedaan istihsan dengan mashlahat mursalah, yaitu mashlahat mursalah memegang kemuslihatan yang tidak ditunjuki oleh dalil tertentu. Adapun istihsan ialah memegang maslahat dalam suatu masalah tertentu yang dilengkapi oleh suatu dalil kuly yang bukan bersumber dari al-qur’an dan as-sunnah.
Kehujjahan penggunaan istihsan menurut Imam Maliki adalah:
1.        Sabda Nabi S.A.W
ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن ، وما راه المسلمون قبيحا فهو عند الله قبيح
Maksudnya; Apa yang dinilai oleh orang-orang Islam itu baik, maka ia adalah
baik di sisi Allah. Dan apa yang dinilai oleh orang-orang Islam itu buruk, maka ia adalah buruk di sisi Allah.(Riwayat al-Bukhari)
Nash ini menunjukkan bahawa setiap yang baik pada umat manusia adalah baik di sisi Allah. Dasar penggunaan al-istihsan sebagai hujah adalah bertujuan untuk memelihara kemaslahatan atau kebaikan orang Islam. Oleh karena itu, dengan merujuk kepada dalil hadis ini dan tujuan al-istihsan itu sendiri, maka boleh disimpulkan bahwa istihsan bisa digunakan sebagai hujah.
2.        Dalil Ijma’
Antara contoh penggunaan al-istihsan berasaskan ijma’ ialah tidak sah bila menjual salam jika diqiyaskan dengan jual beli, karena salam adalah benda yang diakadkan belum wujud lagi ketika akad berlaku dalam kontrak. Oleh kerana jual salam adalah baik dan perlu dalam masyarakat, maka ulama’ mengira baik dan wajib hukumnya berdasarkan konsep al-istihsan.
3.        Dalil akal
Antara alasan lain yang diberikan oleh golongan yang menggunakan al-istihsan sebagai hujjah yaitu karena al-istihsan itu bertujuan untuk menolak kepayahan dengan mewujudkan kemaslahatan.
























Sumber :
Suwarjin, 2012, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Teras)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERAN MAHASISWA DALAM MENCARI SOLUSI PENGEMBANGAN

PERAN MAHASISWA DALAM MENCARI SOLUSI PENGEMBANGAN BUDAYA JAWA MAKALAH Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah : Islam dan B...