ISTIHSAN MENURUT
IMAM MALIKI
ARTIKEL
Disusun guna
memenuhi tugas akhir
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen pengampu : Misbah Khoiruddin Zuhri
Disusun oleh :
Srie Wulandani
1604026040
JURUSAN ILMU
AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO SEMARANG
2017
ISTIHSAN MENURUT IMAM MALIKI
Dalam islam memiliki dua sumber hukum yang diketahui yaitu al-qur’an
dan as-sunnah, tetapi selain itu juga para ulama’ menemukan metode
ijtihad yang dapat menetapkan hukum-hukum syara’ sesuai dengan kemaslahatannya
seperti ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini, penulis berkesempatan menjelaskankan
sedikit tentang salah satu hukum-hukum syara’ yang sesuai dengan
kemaslahatannya yaitu istihsan.
Pengertian istihsan menurut bahasa berasal dari kata (إِسْتَحْسَنَ – يَسْتَحْسِنُ – إِسْتِحْسَاًنا) yang berarti
(طَلَبُ الْحَسَنِ) mencari
kebaikan, berarti menganggap baik atau mencari yang baik, menjadikan baik
sesuatu, sedangkan menurut istilah yang dijelaskan oleh imam Abu al Hasan al
Karkhi istihsan ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap
suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang yang
menghendaki dilakukannya penyimpangan itu. Salah satu ulama’ fiqih yang
menggunakan metode ijtihad istihsan adalah Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Dalam pembahasan ini, akan sedikit menjelaskan tentang Istihsan menurut
Imam Maliki.
Imam
Malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari
segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz
tahun 93 H / 712 M, dan wafat pada hari Ahad, 10 Rabi’ul Awal 179 H / 798 M di
Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harun al-Rasyid.
Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu ‘Amir ibn
Amr ibn Harits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu Ashbah, di kota
Himyar, jajahan Negeri Yaman. Ibunya bernama Siti Al-‘Aliyah binti Syuraik ibn
Abd. Rahman ibn Syuraik al-Azdiyah. Kakek Malik, Abu ‘Amir, datang ke Madinah
dan bermukim di sana sesudah Nabi wafat. Karenanya,
kakek Malik ini tidak termasuk golongan sahabat, tetapi termasuk golongan
Tabi’in. Malik dilahirkan dalam keluarga Ilmuwan yang tekun mempelajari hadis
dan atsar. Abu Amar, kakek Malik menerima hadits dari Umar, Usman dan
Thalhah. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh cucunya Malik, Nafi’ dan Abu Sahel.
Dari kisah sejarahnya, Abu Sahel inilah yang paling banyak memperhatikan urusan
riwayat. Dia salah seorang guru Az-Zuhri. Sejarah Anas, ayahnya Imam Malik
tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah, apa yang diketahui beliau tinggal di
suatu tempat yang bernama Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir di
sebelah utara Madinah. Ayah Imam Malik bukanlah seorang yang biasa menuntut
ilmu. Walaupun demikian beliau pernah mempelajari sedikit banyak hadis-hadis
Rasulullah saw, beliau bekerja sebagai pembuat panah untuk sumber nafkah
keluarganya.
Anas
tidak begitu memperhatikan hadis. Walaupun ayah Malik tidak terkenal sebagai
ahli ilmu, namun kakeknya dan paman-pamannya semuanya terkenal ahli ilmu.
Dengan demikian tidaklah mengherankan apabilah Malik yang tumbuh dalam keluarga
hadis, punya kecenderungan mempelajari hadis. Imam Malik adalah seorang yang
berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan
kebenaran yang diyakininya. Beliau ialah seorang yang mempunyai sopan santun
dan lemah lembut, mengasihi orang miskin dan menolong orang yang membutuhkan.
Beliau juga seorang yang sangat pendiam, kalau berbicara seperlunya saja dan
berguna serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat.
Di samping itu, beliau juga seorang yang mudah bergaul dengan orang-orang yang mengerti
agama terutama para gurunya, bahkan bergaul dengan para pejabat pemerintah atau
wakil-wakil pemerintahan serta kepala negara. Beliau tidak pernah melanggar
batasan agama.
Imam
Malik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imam Abu
Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang
ulama’ terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadis dan fiqih. Setelah
memperoleh kepahaman ilmunya, beliau mulai mengajar dan menulis kitab Muwaththa’
yang sangat populer, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi
pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Banyak dari muhadditsin
besar yang mempelajari hadis dari beliau dan menjadi rujukan para ahli fiqih. Allah
telah menganugrahkan kepada Malik sifat-sifat yang memungkinkannya mencapai
puncak ketinggian ilmu menjadi seorang muhadits dan seorang ahl al-fiqih
yang berpegang teguh pada al-Qur’an, as-Sunnah dan atsar para ulama’ salaf.
Sifat pertama yang dimiliki Malik, ialah : daya hafal yang sangat kuat. Apabilah
ia mendengar sesuatu, langsung dapat dihafalkannya. Pernah beliau mendengar 40
hadis sekaligus, pada esok harinya ia menyetorkan hafalannya kepada gurunya
tidak ada yang salah sekalipun. Inilah yang menyebabkan Malik menjadi seorang
ulama’ gudang ilmu. Kekuatan hafalan itu menjadi menjadi pegangan dalam memelihara
ilmu. Setiap apa yang telah dapat dihafalnya ditulis dalam buku catatannya.
Sifat
kedua adalah kesabaran, ketabahan dalam proses mencari ilmu dan mengatasi
segala kesulitan yang menghalanginya. Beliau pergi di tengah-tengah terik
matahari untuk belajar. Ulama’ ini berpendapat bahwa kesabaran dan keinginan/
kerja keras itulah alat untuk mencari ilmu. Orang yang tidak mempunyai
sifat-sifat tersebut tidak sampai kepada tujuan. Sifat ketiga, ialah keikhlasan
dalam mencari ilmu. Dia mencari ilmu bukan karena ingin mencari kemegahan. Dia
ikhlas dalam mencari hakikat sesuatu. Inilah sifat yang menyebabkan dia dapat
menemukan hakikat dan memahami hadis dan kitab Allah SWT. Malik mengakui bahwa
ilmu ialah ibadah mahdzhah, jika jiwa orang itu diselubungi takwa dan
ikhlas. Ia memberi fatwa terhadap kejadian yang telah terjadi saja dan tidak
tergesa-gesa memberikan fatwa. Malik juga berdiskusi tentang ilmu dengan para
ulama lain seperti Abu Yusuf dan Abu Ja’far. Sifat yang ke empat, ialah
kekuatan firasat dan tembus pandangannya kepada hal-hal yang tersembunyi dan
apa yang sedang bergelora dalam dada manusia. Dia disegani oleh murid-muridnya.
Bila Malik masuk ke majelisnya, para muridnya menundukkan kepala, seakan-akan
ada burung yang berdiri di atas kepala mereka. Bahkan para khalifah segan
kepadanya. Hal ini diperoleh karena kekuatan jiwanya. Jiwa yang kuat itu
memberi pengaruh pada diri orang lain. Di samping itu Malik mempunyai badan
yang tegap, perawakan yang tinggi dan tampan.
Pendidikan
dan Guru-guru Imam Malik. Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa
pemerintahan khalifah Sulaiman ibn Abd Malik dari Bani Umaiyah. Pada waktu itu
di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan
sahabat Anshar dan Muhajirin serta para ahli hukum Islam yang cerdik dan pandai.
Dalam suasana seperti itulah Imam Malik tumbuh dan mendapat pendidikan dari
beberapa guru yang terkenal. Pengetahuan pertama yang diterimanya adalah al-Qur’an,
yakni bagaimana cara membaca, memahami makna dan tafsirnya serta menghafal
al-qur’an. Kemudian ia mempelajari hadis Nabi saw dengan tekun dan rajin,
sehingga mendapat julukan sebagai ahli hadis.
Suatu
saat dia ingin mengunjungi majlis pengajian para ulama’ dan senang hati ibunya
memberikan ijin kepadanya untuk menemui ulama Rabi’ah (wafat tahun 136H) yang
hendak belajar. Sebagai seorang ahli hadis, beliau sangat menghormati dan menjunjung
tinggi hadis Nabi saw. Sehingga bila
hendak memberi pelajaran hadis, beliau berwudhu’ terlebih dahulu, kemudian
duduk di atas sajadah dengan tawadhu’. Beliau tidak senang apabila memberikan
pelajaran hadis sambil berdiri di tengah jalan atau dengan tergesa-gesa. Madinah
adalah kota yang mempunyai keutamaan di masa sahabat, tabi’in dan orang-orang
sesudah mereka. Di Madinah itu banyak ulama’ yang mengembangkan ilmunya di masa
hidupnya Malik, apalagi sebelumnya. Di masa khalifah Rasyidin, kota Madinah
adalah kota ulama’. Barulah sesudah wafat Umar para sahabat pindah ke kota-kota
lain. Dan karena itu kebanyakan tabi’in berada di Madinah dan Makkah. Hanya
sedikit yang tinggal di kota lain, di Irak dan Syam, dan paling sedikit di
Mesir. Setelah terjadi kekacauan-kekacauan terhadap pemerintah Umayyah, para
ulama kembali ke Hijaz, bahkan Abu Hanifah sendiri pergi ke Makkah melepaskan
diri dari tekanan penguasa Umayyah. Malik dilahirkan dan dibesarkan di kota
Madinah yang penuh dengan ulama’. Setelah ia mulai dewasa ia pun memilih guru
untuk mempelajari ilmu khususnya hadis. Memilih guru adalah sesuatu hal yang
sangat diutamakannya. Dia berkata, “Sesungguhnya ilmu adalah agama, maka lihatlah
orang yang kamu ambil ilmu dari padanya”.
Adapun
guru yang bergaul erat dengannya adalah Imam Abd. Rahman ibn Hurmuz salah
seorang ulama besar kota Madinah. Kemudian beliau belajar fiqih kepada salah
seorang ulama’ besar kota Madinah, yang bernama Rabi’ah al-Ra’yi. Selanjutnya Imam
Malik belajar Ilmu hadis kepada Imam Nafi’ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun
117 H), dan juga belajar kepada Imam ibn Syihab al-Zuhry. Menurut riwayat yang
dinukil Moenawar Cholil, bahwa diantara para guru Imam Malik yang utama itu
tidak kurang dari 700 orang. Di antara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300
orang yang tergolong ulama’ tabi’in. Imam Malik pernah belajar pada Ja’far,
walaupun dia tidak setuju dengan jalan yang di tempuh Ja’far itu. Malik
mempelajari ilmu-ilmu yang berkembang di masanya. Tetapi yang dikembangkan
kepada orang lain hanyalah ilmu Rasulullah saw, ilmu sahabat dan tabi’in. Dia
mengetahui ilmu yang dianut aliran yang tumbuh di masa itu. Lantaran itulah dia
memusatkan perhatiannya untuk mengetahui hadis Rasulullah, fatwa-fatwa sahabat,
baik yang mereka sepakati maupun yang diperselisihkan. Malik pernah berkata, “Tidak
boleh memberi fatwa, orang yang tidak mengetahui apa yang diperselisihkan dan
tidak mengetahui nasikh-mansukhnya, baik dalam bidang al-qur’an maupun dalam
bidang hadis. Dia mengkhususkan studi-studinya tentang fatwa-fatwa Umar, Zaid ibn
Tsabit, Abdullah ibn Umar dan pemuka-pemuka ilmu agama sesudah Umar. Ilmu Zaid
ibn Tsabit dikembangkan oleh 21 orang. Kemudia ilmu mereka ini dikumpulkan oleh
3 orang yaitu Ibn Syihab, Bakir ibn Abdullah dan Abuz Zinad. Ilmu mereka
diwarisi oleh Malik. Ibn Syihab az-Zuhri berkata,“Kami telah kumpulkan, ilmu
Sa’ad, Abu Salamah, ‘Al-Urwah, Al-Kasim, Salim, Khariyah, Sulaiman dan Nafi’”.
Malik berkata,”ilmu mereka itu dinukilkan oleh Ibn Hurmuz dan Az-Zuhri. Tokoh-tokoh
inilah yang menjadi guru bagi Malik.
Guru-guru
Malik ada dua yaitu guru yang mengajarkan fiqih dan ijtihad dan guru-guru yang
mengajarkan hadis. Ibn Hurmuz adalah guru yang mengajarkan kepadanya ilmu-ilmu
kecerdasan umum dan mengajarkan hadis. Di Madinah pada masa itu telah timbul
fiqhur Ra’yi yang ditumbuhkan oleh Yahya Ibn Sa’id, Ubaidullah ibn Umar, Kafir
ibn Farqad. Tujuh tahun lamanya Malik belajar kepada Abdurrahman Ibn Hurmuz. Selama
itu ia tidak berguru pada orang lain. Dari Ibn Hurmuz ia mempelajari perbedaan-perbedaan
pendapat para ulama’ di bidang fiqih, fatwa dan dalil yang dipakai untuk
mematahkan hujjah lawan. Malik banyak dipengaruhi oleh pelajaran-pelajaran
yang diberikan Ibn Hurmuz. Di samping itu Malik belajar pula kepada Nafi’ yang
mewarisi fatwa Ibn Umar. Dari padanyalah Malik mempelajari fiqih Ibn Umar dan
hadis-hadis yang diriwayatkannya. Ia belajar juga pada Ibn Syihab Az-Zuhri. Malik
mempelajari ilmu hadis pula pada Ibn Sayyab, yang mengetahui fiqih fuqaha tujuh
madzhab. Di dalam al-Muwaththa’, banyak hadis yang diriwayatkan dari Ibn
Sayyab. Gurunya yang terakhir, ialah
Abuz Zinad ini sebaya dengan Malik sendiri. Guru-guru Malik yang
terkenal sebagai Ahli fiqh diriwayat ialah Yahya Ibn Sa’id yang belajar kepada
fuqaha tujuh dan Rabi’ah. Inilah tokoh yang paling menonjol dalam fiqih Madani.
Karya-karya
dan Murid-murid Imam Malik. Permulaan kitab yang terkenal dan berkembang dalam
masyarakat sekarang ialah Al-Muwaththa’. Maka dari itu Maliklah permulaan
ulama yang membukukan ilmunya. Diterangkan oleh As-Sayuti bahwa dalam kitab Tazyinul
Mamalik bahwa Malik mempunyai beberapa kitab lagi. Di antaranya sebuah
risalah yang ditulis untuk Ibn Wahab buat membantah paham Kudriyah, sebuah
risalah untuk Hijaz, sebuah risalah tentang hisab dan perputaran matahari dan
bulan dan sebuah risalah tentang pengadilan serta sebuah risalah tentang fatwa.
Hanya saja kitab-kitab ini tidak diriwayatkan oleh orang banyak. Yang
berkembang dalam masyarakat dan diterima dari banyak perawi hanyalah Al-Muwaththa’.
Kitab Al-Muwaththa’ ini di tulis tahun 144 H atas anjuran khalifah Ja’far
Al-Manshur. Pendapat Imam Malik ibn Annas dapat sampai melalui dua kitab, yaitu
Al-Muwaththa’ dan Al-Mudawwanah Al-Kubra. Kitab Al-Muwaththa’
mengandung dua aspek, yaitu aspek hadis dan fiqih. Adanya aspek hadis itu
adalah karena kitab Al-Muwaththa’ banyak mengandung hadis-hadis dari
Rasulullah saw atau dari sahabat dan tabi’in. Hadis-hadis ini diperoleh dari
sejumlah orang yang diperkirakan sejumlah 95 orang yang kesemuanya itu dari
penduduk Madinah, kecuali enam orang saja, yaitu: Abu Al-Zubair (Makkah),
Humaid Al-Takwil dan Ayyub Al-Sahtiyani (Bashra), Atha’ Ibn Abdillah (Khurasan)
Abd Karim (Jazirah) Ibrahim ibn Abi `Ablah (Syam). Demikian menurut Al-Qadhy.
Dan di dalam kitab Al-Muwaththa’ juga diterangkan pokok-pokok pikiran
Imam Malik dalam ilmu fiqih.
Hukum-hukum
fiqih Malik dapat kita peroleh melalui dua jalan :
a.
Melalui
kitab-kitab yang disusunnya sendiri, yaitu Al-Muwaththa’. Kitab ini
walaupun terkenal sebagai kitab hadis, namun di dalamnya terdapat masalah-masalah
fiqih dan ditertibkan menurut kitab fiqih pula,
b.
Nukilan
para sahabatnya. Fatwa-fatwa beliau dikumpulkan oleh
murid-murid beliau menjadi buku-buku yang merupakan buku pokok dalam Madzhab
Maliki. Oleh karena itu, jika hendak mempelajari pokok-pokok pikiran Madzhab
Maliki, maka sumbernya ialah kitab Al-Muwaththa’ dan pendapat-pendapat
atau fatwa-fatwa beliau yang dikumpulkan oleh murid-muridnya. Kitab Al-Mudawwanah
Al-Kubra merupakan kumpulan risalah yang memuat kurang lebih 1.036 masalah
dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan Asad Ibn Al-Furat Al- Naisabury yang berasal
dari Tunis yang pernah menjadi murid Imam Malik dan pernah mendengar Al-Muwaththa’
Imam Malik. Kemudian ia pergi ke Irak. Ketika di Irak Asad Ibn al-Furat bertemu
dengan Yusuf dan Muhammad yang merupakan murid Abu Hanifah. Ia banyak mendengar
masalah fiqih aliran Irak. Kemudian dia pergi ke Mesir dan bertemu dengan Ibn
Al-Qasim, murid Imam Malik. Dengan permasalahan fiqih yang diperolehnya dari
Irak, dia menanyakan kepada Ibn Al-Qasim dan akhirnya jawaban-jawaban itulah
yang kemudian menjadi kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra.
Diantara pengikut Imam Mâlik yang terkenal adalah :
1.
Asad
ibn Al-Furat
2.
'Abd
Al-Salam Al-Tanukhi (Sahnun)
3.
Ibnu
Rusyd
4.
Al-Qurafi
5.
Al-Syathibi.
Para
pengikut beliau juga menulis kitab yang dapat dijadikan rujukan pada generasi
berikutnya disamping melestarikan pendapat Imam Malik tersebut. Di antara kitab
utama yang menjadi rujukan aliran Malikiyah adalah sebagai berikut:
a)
Al-Muwaththa’ karya Imam Mâlik. Kitab ini sudah disyarahi oleh Muhammad Zakaria
Al-Kandahlawi dengan judul Aujaz al-Masãlik ila Muwaththa' Mâlik dan Syarh
al-Zarqãni `ala Muwaththa' Al-Imam Mâlik karya Muhammad ibn `Abd al-Baqi
al-Zarqani dan Tanwir al-Hawãlik Syarh `ala Muwaththa' Mâlik karya Jalal
al-Din `Abd al-Rahman al-Suyuthi al-Syafi'i.
b)
Al-Mudãwwanah
Al-Kubra karya `Abd Al-Salãm Al-Tanukhi.
Kitab ini disusun atas dasar sistematika kitab Al-Muwaththa'.
c)
Bidãyah
Al-Mujtahid wa Nihãyah Al-Muqtashid
karya Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd Al-Qurthubi
Al-Andalusi.
d)
Fath
Al-Rahim`ala Fiqh Al-Imam Mâlik bi Al-Adillah
karya Muhammad ibn Ahmad.
e)
Al-I'tishãm karya Abi Ishāq ibn Musa Al-Syãthibi.
f)
Mukhtashar
Khalil `ala Matan Al-Risalah li Ibn Abi Zaid Al- Qirawãni karya Syaikh `Abd Al-Majid Al-Syarnubi Al-Azhari.
g)
Ahkam
Al-Ahkam `ala Tuhfat Al-Ahkam fi Al-Ahkam Al-Syar'iyyah karya Muhammad Yusuf Al-Kafi.
Di
samping pokok-pokok pikiran beliau yang terdapat dalam kitab “Al-Muwaththa”,
beliau juga banyak mengemukakan fatwa-fatwa, pendapat-pendapat yang beliau kemukakan
dalam diskusi dengan sahabat-sahabat dan murid-murid beliau yang terkenal, dan
yang mengumpulkan fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat beliau itu ialah :
1)
Abu
Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (wafat 197 H)
2)
Abd
Al-Rahman bin Al-Qasim (wafat 191 h)
3)
Asyhab
bin Abdul Aziz (wafat 204 h)
4)
As’ad
bin Al-Furat (wafat 217 H)
5)
Abdullah
bin Abdul Hakam (wafat 214 H)
6)
Sahnun
bin Abd Al-Salam Al-Tanukhi (wafat 240 H)
7)
Abu
Abdillah Ziyad bin Abd Al-Rahman Al-Qurthubi, yang terkenal dengan Imam Syabtun
(wafat 193 H).
Adapun
kitab-kitab ushul fiqih dan Qawa’id Al-fiqih aliran Malikiyah adalah
sebagai berikut:
a.
Syarh
Tanqih Al-Fushũl fi Ikhtisar Al-Mahsul fi Al-Ushũl, karya Syihab Al-Din Abu Al-Abbas Ahmad bin Idris Al-Qurafi (wafat
684 H)
b.
Al-Muwafaqat
fi Ushũl Al-Ahkãm, karya Abi
Ishaq ibn Musa Al-Syatibi.
c.
Ushũl
Al-Futiya, karya Muhammad Ibn Al-Harits
Al-Husaini (wafat 361 H)
d.
Al-Furũq karya Syihab Al-Din Abu Al-`Abbas Ahmad Ibn Idris Al-Qurafi (wafat
684 H).
e.
Al-Qawa’id karya Al-Maqqari (wafat 758
H).
f.
Idlah Al-Masalik Al-Qawã’id Al-Imam Malik
karya Al-Winsyairi (wafat 914 H).
g.
Al-Is’af bi Al-Thalab Mukhtashar Syarh Al-Minhaj Al-Munthakhab karya
Al-Tanawi.
Imam
Malik memiliki murid yang banyak. Murid-murid istimewa dari Imam Malik yang
mendapat layanan istimewa darinya ialah :
1)
Abdullah
Ibn Wahab (125 H - 197 H)
2)
Abdur
Rahman Ibn al-Qasim (128 H - 191 H)
3)
Asyab
Ibn Abdul Aziz (140 H – 204 H)
4)
Asan
Ibn Funud (145 H – 213 H)
5)
Ibnul
Majisun.
Di
antara yang digolongkan ke dalam barisan murid pilihan ialah: Abdullah Ibn
Abdul Hakam (150 – 216 H), Abdul malik Ibn Habib (wafat 238 H), Muhammad Ibn
Hammad al-‘Utbi al-Qurtubi (wafat 255 H) dan Sahnun (wafat 240 H). Nukilan-nukilan
mereka terkumpul dalam kitab-kitab :
a)
Al-Mudawwanah;
b)
Al-Wadlihah;
c)
Al-Mustahrajah dan Al-Ubdiyah.
Pembagian Istihsan
Pembagian istihsan secara umum
berdasarkan proses perpindahannya terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Mendahulukan qiyas khafi dari qiyas jali karena ada alasan
yang dibenarkan syara’. Misalnya, jika penjual dan pembeli berselisih tentang
harga sebelum serah terima barang dilakukan, berdasarkan istihsan mereka
berdua dapat disumpah, padahal menurut qiyas penjual tidak disumpah
tetapi menghadirkan bukti.
2. Mengecualikan hukum juz’i dari hukum kully dengan dalil.
Misalnya, menurut hukum kully jual barang yang ma’dum itu
dilarang, karena mengandung gharar, tetapi berdasarkan istihsan
diperbolehkan melalui akad salam.
Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi
menjadi enam, yaitu :
a. Istihsan beradasarkan Nash, yaitu adanya ayat atau hadits tentang hukum
suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kadiah umum yang berlaku. Contoh isithsan
dengan al-Qur’an adalah wasiat, yang menurut qiyas tidak diperbolehkan
karena pemindahan hak baru terjadi setelah si pewasiat kehilangan hak miliknya,
yaitu pada saat meninggal. Hanya saja wasiat ini dikecualikann dari kaidah umum
tersebut berdasarkan ayat :
من بعد وصية يو صى بها او دين
Sedangkan contoh istihsan dengan
sunnah adalah dinyatakan sah puasanya orang yang makan dan minum dalam keadaan
lupa, padahal dalam kaidah umum puasanya menjadi batal, sebab makan dan minum
membatalkan puasa. Pengecualian hukum/kaidah umum ini didasarkan pada hadits
Nabi yang berbunyi :
من اكل او شرب ناسيا فلا يفطر فانما هو رزق رزقه الله
(رواه الترمدذي)
b. Istihsan bi al-Ijma’
Ialah meninggalkan qiyas dalam suatu
masalah berdasarkan ijma’ yang menetapkan hukum berbeda dengan hukum yang
ditunjuk oleh qiyas. Seperti sahnya akad istishna’ berdasarkan ijma’
ulama. Padahal menurut qiyas akad istishna’ itu tidak sah, karena obyek
yang diadakan belum ada (ma’dum) pada saat akad dilangsungkan.
c. Istihsan berdasarkan qiyas khafi. Misalnya menurut Hanafiyah jika penjual
dan pembeli berselisih tentang harga barang sebelum serah terima barang
dilakukan, menurut qiyas penjual harus mendatangkan bukti dan pembeli disumpah.
Namun menurut istihsan keduanya dapat disumpah.
d. Istihsan bi al-Maslahah
Yaitu istihsan berdasarkan maslahah.
Misalnya ketentuan umum menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak
bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduksi pabrik
tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena status mereka
hanya buruh yang menerima upah. Akan tetapi demi kemaslahatan dalam memelihara
harta orang lain dari sikap tidak bertanggung jawab para buruh dan sulitnya
mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produksi, maka ulama
Hanafiyah menggunakan istihsan yang menyatakan buruh harus bertanggung
jawab atas kerusakan setiap produksi yang dihasilkan baik disengaja atau tidak.
e. Istihsan bi al-‘Adah au al-‘Urf
Yaitu istihsan berdasarkan kebiasaan yang
berlaku umum. Misalnya sewa pemandian dengan harga tertentu tanpa pembatasan
air yang digunakan serta lamanya waktu yang dihabiskan. Menurut qiyas hal ini
tidak diperbolehkan, sebab menurut qiyas obyek akad ijarah itu harus
jelas sehingga tidak menimbulkan perselisihan. Namun menurut istihsan
hal itu dibolehkan lantaran kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat tidak
menuntut jumlah air yang digunakan dan waktu yang digunakan.
f.
Istihsan bi al-Darurah
Artinya ada keadaan darurat yang menyebabkan seorang
mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya dalam kasus sumur
yang kemasukan najis menurut kaidah umum sumur itu tidak mungkin disucikan
dengan air tersebut dari sumur karena sisa air yang bersumber dari dalam sumur
itu akan tetap najis. Hanya saja berdasarkan istihsan sumur tersebut
dihukumi suci dengan mengeluarkan air yang ada dalam sumur tersebut dalam
jumlah tertentu dengan alasan darurat.
Ulama’ Malikiyah menggunakan istihsan dengan meninggalkan
dalil atas dasar pengecualian dan memberikan rukhsah karena ada sesuatu
yang menentangnya. Kemudian, Ulama’ Malikiyah membagi istihsan menjadi
empat bagian yaitu: istihsan dengan ‘urf (menilai baik sesuatu
dengan memandang dari ‘urf nya atau adat kebiasaannya untuk menetapkan
suatu hukum syara’ dalam islam), istihsan lantaran maslahat (mengambil
manfaat atau kebaikan dari sesuatu yang ditetapkan oleh syara’ dengan
dalil-dalil tertentu), istihsan dengan ijma’ (menilai baik
sesuatu atas dasar dari hasil kesepakatan bersama oleh para ulama’ dalam
menetapkan hukum-hukum syara’), dan istihsan dengan kaidah untuk
memudahkan dan menghilangkan kepicikan. Menurut Ibnul Anbari menegaskan bahwa istihsan
yang dikehendaki oleh mazhab Malik ialah mempergunakan masalah juz’iyyat
sebagai imbangan qiyas yang kulliyat.
Misalnya saja: apabila seseorang membeli barang dengan khiyar,
kemudian ia meninggal dunia, kemudian ahli waris-warisnya saling berselisih
pendapat mengenai apakah meneruskan pembelian tersebut atau tidak. Maka, menurut
istihsan dalam kasus ini adalah menilai baik apabila ahli waris-warisnya
meneruskan pembelian tersebut karena mau menerima bagian pihak yang
membatalkan, sebab penjualnya tidak mau menerimanya kembali barang-barang yang
sudah dibeli, agar diteruskan kembali pembelian itu. Perbedaan istihsan dengan
mashlahat mursalah, yaitu mashlahat mursalah memegang kemuslihatan yang tidak
ditunjuki oleh dalil tertentu. Adapun istihsan ialah memegang maslahat
dalam suatu masalah tertentu yang dilengkapi oleh suatu dalil kuly
yang bukan bersumber dari al-qur’an dan as-sunnah.
Kehujjahan
penggunaan istihsan menurut Imam Maliki adalah:
1.
Sabda Nabi S.A.W
ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن ، وما راه
المسلمون قبيحا فهو عند الله قبيح
Maksudnya; Apa yang dinilai oleh orang-orang Islam itu baik, maka ia adalah baik di sisi Allah. Dan apa yang dinilai oleh orang-orang Islam itu buruk, maka ia adalah buruk di sisi Allah.(Riwayat al-Bukhari)
Maksudnya; Apa yang dinilai oleh orang-orang Islam itu baik, maka ia adalah baik di sisi Allah. Dan apa yang dinilai oleh orang-orang Islam itu buruk, maka ia adalah buruk di sisi Allah.(Riwayat al-Bukhari)
Nash ini menunjukkan bahawa setiap
yang baik pada umat manusia adalah baik di sisi Allah. Dasar penggunaan al-istihsan
sebagai hujah adalah bertujuan untuk memelihara kemaslahatan atau kebaikan orang Islam.
Oleh karena itu, dengan merujuk kepada dalil hadis ini dan tujuan al-istihsan itu sendiri, maka boleh disimpulkan bahwa istihsan bisa digunakan sebagai hujah.
2.
Dalil Ijma’
Antara contoh penggunaan al-istihsan berasaskan
ijma’ ialah tidak sah bila menjual salam jika diqiyaskan dengan
jual beli, karena salam adalah benda yang diakadkan belum wujud lagi ketika
akad berlaku dalam kontrak. Oleh kerana jual salam adalah baik dan perlu dalam
masyarakat, maka ulama’ mengira baik dan wajib hukumnya berdasarkan konsep al-istihsan.
3.
Dalil akal
Antara alasan lain yang diberikan
oleh golongan yang menggunakan al-istihsan sebagai hujjah yaitu
karena al-istihsan itu bertujuan untuk menolak kepayahan dengan
mewujudkan kemaslahatan.
Sumber :
Suwarjin, 2012, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Teras)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar