I.
PENDAHULUAN
Manusia
merupakan makhluk berketuhanan yaitu makhluk yang meyakini adanya Tuhan. Dalam
kehidupan manusia fase terpenting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
keagamaan seseorang adalah fase anak-anak. Karena fase awal inilah yang akan
mempengaruhi baik atau buruknya perkembangan agama seseorang.
Kita sebagai manusia tentu harus mengerti dan memahami bagaimanakah
proses perkembangan agama seorang anak, karena suatu saat pasti kita akan
memiliki keluarga. Oleh karena itu makalah ini akan membahas perkembangan agama
pada masa anak-anak.
Psikologi anak mengkaji perkembangan mental anak sebagai bidang
perhatiannya. Sehubungan dnegan hal ini, psikologi anak harus dibedakan dengan
psikologi genetik, walaupun termasuk perangkat penting dalam disiplin ini.[1]
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah
hakikat diciptakannya manusia?
2. Bagaimanakah
timbulnya jiwa keagamaan pada anak?
3. Bagaimanakah
perkembangan agama pada anak-anak?
4. Bagaimanakah
sifat agama pada anak-anak?
III. PEMBAHASAN
A. Hakikat
Diciptakannya Manusia.
Manusia diciptakan oleh tuhan dengan
bentuk yang sem[urna bila dibandingkat dengan makhluk yang lain. Manusia juga
dibekali akal agar dapat menjalani kehidupan dan mengelola bumi dengan lebih
baik. Bekal terakhir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk yang
lainnya, yakni manusia adalah mahkluk hidup yang berakal.
Bila ditinjau dari ajaran islam,
setidaknya ada dua tujuan dari diciptakannya manusia kedunia ini, yakni sebagai
abdi dan sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai abdi, manusia berkewajiban
untuk patuh dan taat kepada Tuhan yang menciptakannya, sebagai khalifah,
manusia berperan sebagai wakil Tuhan untuk bisa mengelola kehidupan di bumi ini
dengan baik.[2]
B. Timbulnya
Jiwa Keagamaan Pada Anak
Menurut beberapa ahli, anak
dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan
lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak sesekor kera lebih bersifat
kemanusiaan dari pada bayi manusia itu sendiri. Selain itu, ada pula yang
berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak dilahirkan membawa fitrah keagamaan.
Fitrah ini baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan
setelah berada pada tahap kematanga.
Menurut tinjauan, pendapat bayi
dianggap sebagai manusia dipandang dari segi bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila
bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk
melihat adanya keagamaan pada dirinya. Meskipun demikian, ada yang berpendapat,
bahwa tanda-tanda kegamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan
perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Jika demikian, maka apakah faktor
yang dominan dalam perkembangan ini?
Dalam membahas masalah tersebut
marilah kita kemukakan beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak
antara lain:[3]
1. Rasa ketergantungan (Sence of
Depend)
Teori ini dikemukaan oleh Thomas
melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki
empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan
pengalaman baru (next experience), keinginan untuk mendapatkan tanggapan
(respons), keinginan untuk dikenal ( reognation). Berdasarkan kenyataan dan
kerjasama dari keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam
ketergantungan, melalui pengalaman-pengalamanan yang diterimanya dari
lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keamanan pada diri seorang anak.
2.
Insting Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang
dilahirkan sudah memiliki beberapa insting di antaranya insting keagamaan.
Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi keagamaan
yang menopang lematangan fungsinya insting ini belum sempurna. Misalnya,
insting sosial anak sebagai potensi bawaanya sebagai makhluk homo socius, baru
akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkamampuan untuk berkomunikasi.
Jadi, insting sosial itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian
pula insting keagamaan.
C. Perkembangan
Agama Pada Anak-Anak
Menurut penelitian Ernest Harms
perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam
bukunya The Development of Religious of Children, ia mengatakan bahwa
perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:[4]
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat
Dongeng)
Tingkat ini dimulai pada anak yang
berusia 3-8 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai tuhan lebih dipengaruhi
oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep
ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa
ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menggapai agama
pun anal masih menggunakan konsep fantasis yang diliputi oleh dongeng-dongeng
yang kurang masuk akal.
2.
The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sehak anak masuk
sekolah dasar ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan
sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada kenyataan (realitas).
Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari
orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan
emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep tuhan yang formalis.
Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada
lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan
mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan
penuh minat.
3.
The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki
kepekaan emosi yang paling tinggi dengan perkembangan usia mereka. Konsep
keagamaaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a. konsep ke-Tuhanan yang
konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal
tersebut disebabkan oleh pengaruh luar
b. konsep ke-Tuhanan yang lebih
murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan)
c. konsep ketuhanan yang bersifa
humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati
ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkah dipengaruhi oleh faktor intern,
yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan,
sebenarnya potensi agaa sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan.
Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada sang pencipta. Dalam
termolohi islam, dorongan ini dikenal dengan hidayat al-Diniyah, berupa beniih-benih
keagamaan yang dianugrahkan Tuhn kepada manusia. Dengan adanya potensi bawaan
ini manuisa pada hakikatnya adalah makhluk beragama.
D. Sifat-sifat
Agama Pada Anak
Memahami konsep keagamaan pada
anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri-ciri
yang mereka miliki. Maka sifat agama pada anak tumbuh dengan mengikuti
polaideas concept on outhority. Ide keagamaa pada anak hampir sepenuhnya
autoritarius, maksudnya. Konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh
faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak
usia mudatelah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka.
Mereka telah melihat dan mengikuti apa yang di kerjakan dan dilakukan oleh
kedua orang tua merekatentang sesuatu yang berhubungan tentang kemashlakatan
agama. Berdasarkan hal itu, maka entuk dan sifat agama pada diri anak dapat
dibagi atas:
1.
Unreflektive (Tidak Mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang
sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73% mereka menganggap tuhan itu
bersifat seperti manusia. Dengan demikian, anggapan mereka tentang ajaran agama
dapat saja mereka terima tanpa adanya kritik. Kebenaran yang mereka terima
tidak mendalam, sehingga cukup sekadarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan
keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian, pada
beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka
terima dari orang lain.
2.
Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri
sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dn akan berkembang sejaran
dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur
pada diri anak, maka akan tumbuh kerahuan pada rasa egonya. Semakin tumbuh
semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam masalah
agama anak telah menonjolkan kepentinagn dirinya dan telah menuntut konsep
keagamaaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang
kurang mendapat kasih dayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat
kekanak-kanakan (chidrish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal demikian
menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3. Antropomorfisme
Pada umumnya, konsep mengenai
ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan
dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan
bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek
kemanusiaan. Umumnya dalam pemahaman anak-anak, tuhan itu berperilaku layaknya
perilaku manusia. Tuhan digambarkan dalam sosok manusia.
Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran,
mereka menganggap bahwa perikeadaan tuhan sama dengan manusia. Pekerjaan tuhan
mencari dan menghukum orang berbuat jahat disaat orang itu berada didalam
tempat yang gelap.
4.
verbalis dan ritualis
Dari kenyatan yang kita alami
ternyata, kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara
verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat kegamaan dan
selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman
menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu kedua hal tersebut
kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak dimasa selanjutnya,
tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan
agama anak itu di usia dewassa. Bukti menunjukan banyak orang dewasa yang taat
karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa
kanak-kanak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami
kesukaran.
5. Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat
kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada
dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan salat misalnya, mereka laksanakan
hasil melihat dari perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasan maupun
pembelajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal
anak merupakan penuri yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif
dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6.
Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda
dan sifat keagamaan yang tekahir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada
pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan
kritis. Mereka hanya kadum terhadap keindahan lahiriyah saja. Hal ini merupakan
langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal
sesuatu yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui
cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.[5]
IV. KESIMPULAN
A.
Timbulnya Jiwa Keagamaan Pada Anak
1. Rasa ketergantungan (Sence of
Depend)
2.
insting keagamaan
B.
Perkembangan Agama Pada Anak-Anak
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat
Dongeng)
2.
The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
3.
The Individual Stage (Tingkat Individu)
D.
Sifat-sifat Agama Pada Anak
1.
Unreflektive (Tidak Mendalam)
2.
Egosentris
3. antropomorfisme
4.
verbalis dan ritualis
5.
Imitatif
6. Rasa Heran
V. PENUTUP
Demikianlah
makalah ini. tentu makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami
mengharap kritis dan saran dari pembaca untuk perbaikan dalam pembuatan makalah
yang akan datang. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
sekalian. Amin..
[1] Jean
Piaget dan Barbel Inhelder, Psikologi Anak, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm 2
[2]
Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak,
(Jogjakarta: Katahati, 2014), hlm 15-16
[3]
Jalaludin, Psikologi Agama, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm 56-57
[4] Jalaludin,
Psikologi Agama....hlm 58-59
[5]
Jalaludin, Psikologi Agama,...hlm 61-65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar